![]() |
| (Bioskop di Jakarta, 2025) |
JAKARTA (06/2025) - Jakarta, satu kata beribu makna, sebuah
kota penuh cita, dan cerita. Namun hari ini saya merasa dibuat penat oleh-nya. Di
tengah cepatnya waktu dan padatnya aktivitas, hari ini saya merasa perlu
menepi. Mengajak pikiran untuk berhenti sejenak, menyendiri dari segala
kebisingan.
Saya memilih pergi ke bioskop. Rasanya sudah lama tak kesana,
sejak terakhir kali itu menonton film "Buya Hamka". Bagi saya, film bukan
sekadar hiburan, ia adalah ruang belajar, jika kita bersedia menghayatinya.
Selalu ada pesan yang ingin dibicarakan, bahkan dari hal-hal yang tampak
sederhana. Saya juga merasa sudah lama tak bercengkrama dengan lembar-lembar cerita
dari buku-buku di Gramedia. Maka hari ini saya memutuskan diri untuk menepi,
menemui tempat-tempat yang telah lama tak dikunjungi.
Menepi dan “Tak Ingin Usai Sampai di Sini”
Hari ini dalam list tayang ada film horror; Jalan Pulang,
film komedi; GJLS : Ibuku Ibu-Ibu, dan film romansa; Tak Ingin Usai di
Sini. Saya tak suka film horror, dan saya rasa tidak perlu film komedi untuk
mentertawai kehidupan ini, maka pilihan tertuju pada film Tak Ingin Usai di Sini. Film ini dibintangi Bryan
Domani sebagai K (dibaca Kei) dan Vanesha Prescilla sebagai Cream. Ceritanya mengangkat
perjalanan dua anak yatim piatu yang dipertemukan sejak SMA, lalu tumbuh
bersama sebagai sahabat yang saling menguatkan. K bercita-cita menjadi musisi,
namun realita membawanya menjadi produser sebuah radio. Cream, yang tumbuh
dengan luka yang sama, menjadi penulis lagu.
Seiring waktu, benih cinta tumbuh di antara mereka. Tapi cinta, seperti hidup, tak pernah sederhana. K divonis mengidap kanker stadium akhir, Ia sadar waktunya terbatas. Alih-alih mengungkap cinta, ia justru ingin memastikan ada pria lain yang akan menjaga Cream ketika ia tak lagi ada. Maka ia berusaha menjodohkan Cream dengan pria lain, bernama Armand (Rayn Wijaya).
Ada satu dialog dalam film ini yang teringat dalam benak, saat K berbicara pada Cream diruang tengah (kurang lebih seperti ini): “Lebih baik hidup singkat namun penuh makna, dibandingkan hidup lama tanpa meninggalkan apa-apa. Beberapa musisi meninggal muda, namun namanya tetap dikenang hingga kini.”
Kalimat tersebut membekas dalam jiwa, bahwa bagaimana jika
kita mati muda tanpa makna? Tidak melulu soal cinta, tapi lebih dalam adalah kesan atau karya yang bermakna. Dalam film ini, makna yang ditinggalkan adalah tentang
cinta yang dipilih K, cinta yang bukan untuk memiliki, tapi untuk merelakan. Ia
menyembunyikan penyakitnya dari Cream, agar sahabatnya tak perlu khawatir. Cream sebenarnya tahu, namun Ia memilih berpura-pura tidak tahu. Bagi Cream, cinta
pada K adalah dengan memenuhi keinginan terakhir K (melihat Cream menikah
dengan Pria yang baik), itu merupakan cara terbaik untuk mengantarnya pulang
dengan tenang.
Film ini adalah potret cinta yang tak selalu harus
diucapkan, dan pengorbanan yang tak selalu tampak di permukaan.
![]() |
| (Gramedia di Jakarta, 2025) |
Live Life in Crescendo: Hidup yang Tak Pernah Usai
Seusai menonton film itu, saya mampir ke Gramedia. Sudah
lama tak menyentuh rak-rak buku. Seperti biasa, saya menyusuri bagian rak
bertuliskan Self Development. Pandangan tertahan pada buku tanpa plastik
pelindung berjudul: Live Life in Crescendo karya Stephen R. Covey dan
Cynthia Covey Haller.
Covey memang telah wafat tahun 2012, namun buah pemikirannya
tetap hidup. Buku ini adalah warisan terakhirnya yang diselesaikan sang putri.
Rasanya, kisah K tadi menemukan gema dalam karya ini: bahwa hidup bisa selesai,
tapi maknanya tak usai.
Membuka lembar pertama, saya menemukan kutipan dari Henry David Thoreau yang berbunyi: “Saya pergi ke hutan karena saya ingin sungguh-sungguh menjalani hidup, berhadapan hanya dengan hal-hal yang hakiki, dan ingin tahu kalau-kalau saya tidak dapat belajar yang harus diajarkan oleh kehidupan, agar ketika saya mati tidak menemukan bahwa ternyata saya tidak pernah hidup..Saya ingin hidup mendalam dan menghisap seluruh sumsun dalam kehidupan".”
Kisah K yang mati muda kembali terbayang. Hidupnya memang
singkat, tapi cintanya memberi makna abadi pada Cream, dan sahabat-sahabat yang mengetahui kisahnya. Kutipan Thoreau membuat saya
bertanya, apakah saya sungguh-sungguh menjalani hidup? Atau hanya sekadar
mengalir tanpa arah?
Di halaman berikutnya, saya menemukan kutipan lain, dari Pablo Picasso yang menyampaikan bahwa: “Makna hidup adalah menemukan apa kelebihan Anda. Tujuan hidup adalah memberikan kelebihan itu kepada orang lain.”
Saya langsung teringat pada sabda bijak: خَيْرُ الناسِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ, yang berarti "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang
lain."
Hanya butuh dua lembar halaman singkat dari sebuah buku telah
membuat saya bertanya panjang akan lembar kehidupan yang sudah berjalan. Sepertinya
itulah cara bekerja hidup, Tuhan menitipkan pesan tersiratnya pada hal-hal
yang tak disangka untuk mengingatkan sang hamba.
Refleksi: Menepi dan Membaca Diri
Saya tidak sedang mengulas film atau meresensi buku. Saya
hanya ingin berbagi makna yang hadir dari keduanya. Kadang, hikmah dari setiap
peristiwa tidak selalu sama bagi tiap jiwa. Saya mencoba merefleksikan diri dari cerita
yang terbaca, dari narasi yang tersaji bahwa kehidupan selalu menyimpan misteri.
Dari film dan buku ini, saya belajar bahwa hidup tidak
mengenal usia. Kematian tidak menunggu kita tua. Maka pertanyaannya bukan
"berapa lama kita hidup", tapi "apa makna yang kita
tinggalkan?" seperti K yang "Tak Ingin Usai", namun takdir
menjemputnya lebih awal. Cinta tidak selalu tentang pengungkapan, kadang cinta
adalah diam yang menjaga, atau kepergian yang mendoakan. Hidup yang berarti
tidak harus panjang, tapi harus jujur pada diri sendiri, dan pada tujuan hidup.
Saya mencoba membaca diri dari cerita K dan buku Covey dalam dua kalimat yang saya pegang dalam hidup ini, kalimat pertama berbunyi : “Hidup adalah tentang menulis sejarah. Baik atau buruk, pena ada di tangan kita. Tulislah cerita terbaikmu.” Sejarah itu tercipta dari cara kita memperlakukan orang lain. Dari kesan yang kita tinggalkan dalam ingatan mereka.
Kalimat kedua : “Mudahkan urusan orang lain, Allah akan mudahkan urusanmu.” Kalimat tersebut saya dengar dari seorang senior, dan saya refleksikan untuk menyederhanakan kalimat kebermanfaatan pada tindakan tersebut. Saya percaya bahwa kebermanfaatan adalah bahasa cinta yang paling dalam.
Pada akhirnya proses menepi membuat saya membaca diri, bagaimana jika kita mati muda tanpa makna? Maka jawaban tersebut terpenggal dalam kalimat berikut, sebagai pesan untuk hari ini dan yang akan datang,
"Hidup adalah rangkaian pertemuan yang menghadirkan kegembiraan, tak jarang kekecewaan, dan bila waktunya tiba, perpisahan adalah kepastian. Syukuri apa yang dimiliki, berikan yang terbaik dalam setiap kesempatan, dan selalu menjadi orang baik dimanapun berada." - *BDE



0 Komentar