Tepat setahun lalu, saya memulai awalan petualang
baru.
Sama seperti kali pertama meninggalkan rumah,
hijrah adalah satu pilihan yang tak pernah
mudah.
Selepas perjuangan menuntaskan studi di Semarang
selasai,
banyak pilihan, banyak masukan, banyak arahan.
Tapi muara dari keputusan adalah mengikuti isi
hati,
mengikuti lembaran tulisan tentang mimpi.
Jakarta ! Jakarta adalah pilihan penuh
kesadaran,
Jakarta adalah pilihan untuk melanjutkan
perjuangan,
Jakarta adalah estafet kehidupan yang aku pernah
tuliskan,
untuk disinggahi baik untuk “sementara” atau dalam
“jangka lama” (?)
Kini aku ada disana! Namun, aku kembali
bertanya,
Setelah Jakarta, aku harus kemana, berkelana (?).
Mencari arti hidup penuh makna, seperti apa
(?)
Oh tuhan dalam ketidakpastian,
aku terus berjalan ditemani ribuah pertanyaan
kehidupan.
Kemana ujung jalan ini akan membawa ku (?)
Aku tau apa yang ku mau tuju.
Namun terkadang sesekali aku menjadi ragu (?)
Haruskah putar arah atau terus melaju (?)
Di ujung bait, aku mendengar sayup Perez berkata
“aku tidak pernah menyesali mimpiku,
aku hanya menyesal tidak bermimpi lebih”
Ucapan Wahib kembali terngiang
“Lebih baik gagal dalam bermimpi,
daripada tidak pernah gagal karena tidak pernah
bermimpi”.
Tan Malaka ikut hadir menimpali
“Hidup yang tidak pernah diperjuangkan,
tidak akan pernah di menangkan”.
Sialnya dalam keraguan itu, aku teringat tak
sempat
menyimpan kata-kata yang pesimis.
Pada akhirnya aku harus ber-terimakasih Jakarta
!
Terima kasih untuk setiap perkenalan, kesempatan, dan
penerimaan.
Setahun telah berlalu, namun cerita ini masih di
hulu.
Perlahan akan kita wujudkan mimpi itu satu
persatu.
Semoga tuhan akan membantu.
Jakarta 17 Agustus 2025


0 Komentar